Minggu, 25 September 2011

Senja Dermagaku


Dermaga ini seakan sudah menjadi milikku sepenuhnya. Setiap hari akulah yang disini, bermain dengan angin laut yang sesekali menyibakkan rambutku. Disini satu-satunya tempat kita bisa bertemu kembali. Kau pernah bilang, senja disini sangat indah. Berbeda dengan senja di kotamu yang kau bilang memuakkan. Kotamu seperti apa, aku juga tidak tahu. Kau berjanji akan membawaku kesana saat kau kembali.

Menggores kayu diatas pasir adalah rutinitas kita setiap sore. Meskipun kadang tersapu ombak dan lenyap. Tapi kita terus menulis, dan ombak terus menyapu. Aku tertawa, tapi kau memandang laut dengan sebal. Kau pun berkata, "bagaimana aku bisa menahan ombak ini?". Aku menjawab sambil menahan tawa, "kau tidak bisa menahannya. Kalau pun bisa, pantai ini akan berbeda, tidak akan seindah ini". Kau pun tertawa dan menarikku menyusuri sepanjang pesisir pantai. Meninggalkan jejak-jejak kecil yang tersapu ombak pada akhirnya.

Senja pun tiba. Dengan tawa yang selalu menghiasi wajah kita, kita pun meniti tangga dermaga dengan menggenggam erat tangan satu sama lain. Senja itu, kau mengungkapkan niatmu untuk tinggal disini bersamaku. Tidak akan pergi kemana-mana. Kau meyakinkanku saat aku mulai membicarakan perbedaan terlalu besar yang kita miliki. Bukan Tuhan yang berbeda, tapi kita. Kembali menatap senja, yang ternyata adalah senja terakhir kita.

Senja disini indah, tetap indah. Kau pergi, seperti tersapu ombak, lenyap. Seperti jejak-jejak kita di pesisir, lenyap.
Dermaga ini seakan sudah menjadi milikku sepenuhnya. Setiap hari akulah yang disini, bermain dengan angin laut yang sesekali menyibakkan rambutku..

0 komentar:

Posting Komentar